
Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah — Kasus mengejutkan kembali mengguncang publik Sulawesi Tengah. Seorang remaja putri berusia 11 tahun di Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi korban eksploitasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya sendiri — ayah, ibu, dan kakak kandungnya. Kasus ini terungkap setelah korban memberanikan diri bercerita kepada gurunya di sekolah, meski sebelumnya sempat mendapat ancaman pembunuhan dari ayahnya apabila berani melapor.
Awal Terungkapnya Kasus: Keberanian Seorang Anak
Tragedi ini bermula dari keberanian sang korban yang merasa cemas karena dua bulan tidak mengalami menstruasi. Dalam kebingungan dan rasa takut, ia akhirnya menceritakan kondisi dan penderitaannya kepada guru wali kelasnya di sekolah dasar tempat ia belajar.
Pengakuan polos itu kemudian membuka tabir gelap kehidupan seorang anak kecil yang telah menjadi korban kekerasan seksual dan perdagangan manusia di dalam keluarganya sendiri. Guru yang mendengar pengakuan tersebut segera melaporkan temuan itu kepada pihak berwenang. Laporan itu pun ditindaklanjuti oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Banggai Kepulauan.
Ancaman dan Kekerasan di Balik Penderitaan Korban
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, korban mengalami kekerasan seksual berulang dari ayah kandungnya yang berinisial SY dan kakak kandungnya IY. Sang ayah tidak hanya melakukan tindakan bejat, tetapi juga mengancam akan membunuh anaknya jika berani menceritakan perbuatan tersebut kepada siapa pun.
Tekanan dan ketakutan membuat korban sempat menutup diri, hingga akhirnya berani bicara setelah mendapatkan pendampingan dari guru dan petugas PPA. “Korban semula enggan memberikan keterangan karena diancam oleh ayahnya. Setelah dilakukan pendekatan emosional dan pendampingan oleh Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, korban akhirnya berani mengungkap semua kejadian,” ungkap salah satu penyidik Polres Bangkep yang menangani perkara tersebut.
Eksploitasi Seksual oleh Ibu Kandung
Lebih memilukan lagi, sang ibu yang seharusnya melindungi anaknya justru ikut menjadi pelaku utama dalam kasus eksploitasi ini. Ibu korban, berinisial AT, diduga kuat memperdagangkan anak kandungnya kepada pria hidung belang dengan imbalan uang tunai yang sangat kecil — berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 untuk setiap pertemuan.
Menurut penyelidikan polisi, ada sedikitnya dua pria lanjut usia, berinisial YS dan EK, yang diduga telah membayar layanan seksual tersebut. Kedua pria itu kini telah diamankan sebagai bagian dari delapan tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Polisi menduga praktik bejat ini sudah berlangsung selama beberapa bulan sebelum akhirnya terungkap.
Peran Kekasih Korban dan Akar Masalah Sosial
Selain eksploitasi yang dilakukan keluarga, korban juga mengaku telah disetubuhi oleh kekasihnya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini menunjukkan adanya minimnya pendidikan seks dan pengawasan terhadap anak-anak di usia sekolah, terutama di wilayah pedesaan dengan akses informasi terbatas.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana lemahnya sistem perlindungan anak di tingkat keluarga dan lingkungan. Kondisi ekonomi yang sulit, kurangnya edukasi, dan lemahnya kontrol sosial sering kali menjadi pemicu munculnya tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Langkah Cepat Kepolisian
Setelah menerima laporan dari guru korban pada 1 Oktober 2025, Satreskrim Polres Bangkep segera melakukan serangkaian pemeriksaan. Polisi kemudian menetapkan delapan orang tersangka, termasuk ayah, ibu, kakak kandung, serta dua pria yang menjadi pelanggan, dan kekasih korban.
Kasus ini kini dalam proses penyidikan lebih lanjut. Kepolisian memastikan seluruh pelaku akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Semua pelaku akan diproses sesuai hukum yang berlaku. Tidak ada toleransi terhadap kejahatan seksual, apalagi yang dilakukan terhadap anak,” tegas salah satu pejabat Polres Bangkep.
Pendampingan Psikologis untuk Korban
Korban kini mendapatkan pendampingan penuh dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kabupaten Banggai Kepulauan. Tim psikolog diterjunkan untuk memberikan konseling dan pemulihan trauma akibat kekerasan yang dialaminya.
Proses pemulihan anak korban kekerasan seksual sering kali membutuhkan waktu panjang. Rasa trauma, ketakutan, dan kehilangan kepercayaan terhadap orang dewasa menjadi tantangan besar yang harus ditangani secara profesional. Pihak DP3A juga berkoordinasi dengan lembaga sosial dan psikolog anak agar korban dapat kembali menata kehidupan dan pendidikan setelah proses hukum berjalan.
Gelombang Reaksi Publik
Kasus ini memicu kemarahan dan keprihatinan publik, terutama di kalangan aktivis perlindungan anak dan pemerhati sosial. Banyak yang menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik kekerasan dalam rumah tangga dan eksploitasi anak yang masih sering tersembunyi di balik tembok keluarga.
Sejumlah lembaga advokasi menuntut agar pemerintah daerah memperkuat sistem pelaporan dan perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual. Program edukasi dan sosialisasi tentang bahaya eksploitasi anak dinilai harus diperluas hingga ke tingkat sekolah dasar dan desa.
“Kasus di Banggai Kepulauan ini menjadi bukti bahwa kejahatan seksual terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang asing, tetapi juga bisa datang dari lingkungan terdekat,” ujar salah satu aktivis perlindungan anak di Palu.
Fenomena Gelap Eksploitasi Anak di Indonesia
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak kasus baru terungkap setelah korban berani melapor atau bercerita kepada guru, teman, atau tetangga.
Faktor utama yang memicu meningkatnya kasus serupa adalah kemiskinan, minimnya pendidikan seks, serta budaya patriarki yang menempatkan anak sebagai pihak yang lemah. Dalam banyak kasus, pelaku justru merupakan anggota keluarga yang memiliki kekuasaan emosional dan ekonomi atas korban.
Seruan Penegakan Hukum Tegas
Kasus eksploitasi seksual anak di Banggai Kepulauan menjadi alarm keras bagi penegak hukum dan masyarakat luas. Penanganan yang tegas dan transparan diharapkan menjadi efek jera bagi pelaku serta pelajaran bagi masyarakat agar lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan di sekitar mereka.
Para pelaku terancam hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat memperkuat layanan perlindungan anak di setiap kecamatan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Tragedi yang menimpa gadis 11 tahun di Banggai Kepulauan ini menjadi potret kelam kejahatan dalam keluarga yang masih sering luput dari perhatian publik. Di tengah gempuran informasi digital, banyak anak yang justru hidup dalam ketakutan di rumah sendiri — tempat yang seharusnya menjadi paling aman bagi mereka.
Kasus ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang pentingnya kesadaran kolektif untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Perlindungan anak bukan sekadar tanggung jawab pemerintah atau aparat, melainkan tanggung jawab moral seluruh masyarakat.